Minggu, 12 Agustus 2012

Merebut Tapi Tak Sanggup Mempertahankan

Li Zicheng dan pasukannya dielu-elukan sebagai pembebas dari rezim Ming yang korup ketika memasuki Beijing

April 1644, pasukan pemberontak petani Dashun pimpinan Li Zicheng berhasil mendobrak pertahanan kota Beijing. Kaisar terakhir Dinasti Ming, Chongzhen, menggantung dirinya di bukit belakang istana setelah memerintahkan bunuh diri massal bagi permaisuri dan para selirnya. Rakyat berbaris di sepanjang jalan menyambut Li dan para pembesar pasukan pemberontak memasuki kota, mereka menaruh harapan besar pada pasukan pemberontak yang telah berhasil menumbangkan Dinasti Ming yang korup. Li segera memasuki Istana Terlarang, menobatkan dirinya sebagai kaisar dan berdirinya dinasti baru, Dinasti Shun. Dua perintah pertama yang diturunkannya adalah pemerintah baru tidak akan menarik pajak selama tiga tahun dan rakyat tidak boleh diganggu, rakyat jelata menyambut kebijakan itu dengan gegap gempita.
Hari-hari pertama setelah naik tahta, Li memulainya dengan memutuskan nasib para anggota keluarga Dinasti Ming, menyusun langkah selanjutnya untuk menaklukkan Zhang Xianzhong, pemimpin pemberontak yang menjadi rival Li yang berbasis di Sichuan, serta merombak total susunan pemerintahan. Para pejabat golongan menengah atas disingkirkan dan dari golongan menengah ke bawah dipakai berdasarkan pilihan pemerintah baru. Dalam hitungan hari, para pejabat dan bangsawan dari rezim Ming yang dituduh korup diadili dan dijatuhi hukuman mati, termasuk salah satunya Zhu Chunzhen, seorang anggota keluarga kaisar dan penasehat yang jahat. Jumlah yang dieksekusi mencapai ratusan orang. Disiplin militer juga benar-benar ditegakkan, dua orang prajurit yang merampok toko sutera juga dihukum mati. Tindakan ini sekali lagi mendapat respon positif dari rakyat jelata. Kehidupan di ibukota pun mulai berjalan normal kembali.Satu persatu provinsi di China mulai mengakui kepemimpinan Li.

Namun sangat disayangkan, tak lama kemudian para pejabat Dashun mulai terlena dengan kemenangan mereka. Mereka mengira setelah Li naik tahta negara akan aman dan damai. Perdana menteri Niu Jinxing sibuk menerima dan menjamu tamu-tamu yang mengunjunginya, ia mengundang saudara dan teman-teman sekampungnya untuk berbagi kemenangan, sikapnya seperti perdana menteri di negeri yang telah stabil saja. Para pejabat sipil sibuk mengurus pesta untuk penobatan Li sebagai kaisar. Sementara para jenderal pasukan petani sibuk mengumpulkan dana dari golongan menengah (saudagar dan tuan tanah) dan pejabat lama untuk menggaji tentaranya. Cara mereka lama-lama semakin sewenang-wenang, mereka dengan seenaknya menuduh seseorang korup dan memaksa untuk mengembalikan uang yang mereka curi dari negara, yang menolak akan disiksa dengan kejam. Sementara Li yang sudah hidup di istana mulai menciptakan jarak dengan para pejabatnya. Ia tidak lagi mengerti perilaku mereka seperti dulu waktu berjuang bersama-sama. Beberapa pemuka masyarakat menyampaikan keluhan padanya mengenai perilaku tidak disiplin para komandan pasukan petani. Li merespon dengan menurunkan titah agar pengumpulan dana dihentikan, namun kegiatan itu hanya berhenti di ibukota, sedangkan di tingkat daerah terus berjalan bahkan semakin menjadi-jadi. Hal ini membuat keluarga kaya dan pejabat lama semakin sengsara dan muak dengan pemerintah baru. Perilaku para komandan mempengaruhi para bawahan mereka, para prajurit mulai bertindak sewenang-wenang para pedagang, orang kaya dan pejabat lama, mereka tidak lagi dihukum seberat dulu. Dari situ, Li mulai kehilangan dukungan dari lapisan menengah masyarakat.

Sementara itu, di perbatasan utara, Jenderal Wu Sangui menerima kabar bahwa ayahnya dipenjara dan disiksa oleh pasukan pemberontak dan selir kesayangannya, Chen Yuanyuan, direbut paksa oleh Liu zongmin, jenderal pasukan pemberontak. Kabar ini membuat Wu sangat marah, dengan dalih membalas dendam atas kematian kaisar dan ayahnya, ia mengambil alih komando di terusan Shanhai, gerbang tembok besar di timur laut China. Kini posisi Wu terjepit antara pasukan Dashun di selatan dan suku Manchu di utara. Pangeran Duo'ergun, wali dari Kaisar Shunzhi, penguasa Manchu yang masih bocah, sudah lama menanti kesempatan ini untuk menyerang ke China. Ia menawari Wu bantuan pasukan dan perbekalan untuk menyerang ke selatan. Wu menghadapi dilema karena bangsa Manchu adalah musuh China, sedangkan ia sangat mendendam pada pasukan petani yang telah menyiksa ayahnya dan merebut selirnya. Pada akhirnya ia menerima tawaran Duo'ergun, sebuah blunder yang selamanya akan menodai reputasinya sebagai pengkhianat bangsa.

Wu Sangui, dibantu pasukan Manchu, segera menyerang pos-pos pasukan petani di utara. Parahnya, selama ini Li memang kurang memperhatikan ancaman invasi Manchu dari utara sehingga ketika Wu dan pasukan Manchu menyerang, pasukannya dalam keadaan tidak siap dan akhirnya harus mundur. Wu dan pasukan Manchu terus maju ke Beijing setelah memenangkan beberapa pertempuran. Para tuan tanah di pinggiran Beijing pun menyatakan siap membantu Wu untuk mengusir pasukan petani. Akhirnya pada akhir Mei 1644, Wu dan pasukannya hampir mencapai Beijing. Li terpaksa harus mundur ke basisnya di Shaanxi. Sejak itu nasibnya tidak jelas, ada versi yang mengatakan ia terbunuh oleh para loyalis Dinasti Ming, ada yang mengatakan setelah kekalahannya, ia menggunduli kepala dan menjadi biksu hingga akhir hayatnya, dan ada yang mengatakan ia bunuh diri dalam pelarian. Sementara itu di Beijing, Pangeran Duo'ergun mengambil alih tahta dan sejak itu China mulai memasuki jaman Dinasti Qing.

Ia yang berhasil merebut kekuasaan, tapi tidak sanggup mempertahankannya, adalah melakukan sesuatu yang sia-sia karena akan segera kehilangan apa yang telah direbutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar